Sosok Panglima TNI ini Dikenal Jenderal Anti Voorijder dan Tolak Gunakan Nopol Khusus

Merdeka.com Selama menjadi pejabat tinggi militer, sang panglima selalu mengupayakan untuk tidak memakai pengawalan selama perjalanan. Baginya, seorang pejabat tak ada bedanya dengan rakyat biasa.

Sebagian besar pejabat di Indonesia identik dengan voorijder (pengawalan) jika pergi ke suatu tempat. Selain terkesan eksklusif, menggunakan pengawalan khusus tersebut bisa efisien dalam membuka jalur ketika situasi jalan sedang dilanda kemacetan.

Namun kebiasaan itu tak urung membuat banyak keluhan di kalangan masyarakat pengguna jalan. Para pejabat pengguna jasa voorijder malah kerap disebut sebagai manusia-manusia sombong dan tak tahu diri.

Usir Voorijder

Alasan itu pula yang rupanya membuat Jenderal Edi Sudradjat anti dikawal voorijder. Alih-alih merasa nyaman dan terhormat, panglima ABRI sekaligus menteri pertahanan di era Orde Baru itu malah pernah mengusir sekelompok voorijder dari Corps Polisi Militer (CPM).

Ceritanya, suatu hari Edi memerlukan pergi ke Bandung. Baru beberapa saat masuk tol Jagorawi, tiba-tiba entah dari mana munculnya dua pengendara sepeda motor besar dan sebuah jip CPM mengikuti mereka. Sepertinya, mereka hendak mengawal Edi. Minimal, selama di dalam jalan tol Jagorawi.

Menurut Letnan Kolonel (Purn) Jatnika, mantan ajudan Edi, sang panglima langsung memperlihatkan wajah tak suka. Dia lantas meminta Jatnika yang tengah menyopir untuk meminggirkan mobil ke bahu jalan tol.

“Jat, berhenti dulu. Ini siapa yang mengikuti kita?” tanya Edi.

“Siap, Panglima! Sepertinya CPM, Pak,” jawab Jatnika.

“Tolong deh kamu keluar dulu. Bilang sama mereka, kita enggak usah dikawal. Bukannya nomor pelatnya mobil ini sudah diganti? Kok mereka masih tahu juga. Jangan lupa kasih mereka uang rokok Jat,” ujar Edi.

“Siap, Panglima!”

Setelah meminggirkan mobil ke bahu jalan, Jatnika lantas turun dan menemui komandan CPM. Dia memberitahu, Panglima ABRI tak berkenan mobilnya dikawal voorijder. Sang komandan mafhum lalu setelah memberi hormat. Dia meninggalkan tempat tersebut.

Menurut sang istri Lulu Lugiyati, selama menjadi pejabat, bisa dikatakan Edi sangat jarang menggunakan jasa voorijder. Termasuk saat dia pergi ke kantor atau melintasi jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota lain yang dikunjunginya.

“Untuk apa memakai pengawalan segala. Kita juga bisa jalan sendiri, kok. Waktunya macet, ya macet. Kita juga kan masyarakat biasa. Tak usah dibeda-bedakanlah,” kata Edi.

Tolak pelat nomor khusus

Selain anti menggunakan voorijder, Jenderal Edi juga tak menyukai penggunaan pelat nomor khusus di mobilnya. Bahkan ketika dia mendapat jatah pelat nomor khusus, Edi malah menyuruh Jatnika mengganti pelat nomor mobil dinasnya.

“Jat, mulai besok, jangan pakai lagi nomor pelat itu yah! Coba cari nomor gede saja. Untuk apa pakai nomor begituan?” katanya.

Edi juga memiliki kebiasaan unik saat menumpang mobil dinasnya. Tidak seperti pejabat lain yang memilih duduk di belakang sopir, dia justru lebih menyukai duduk di samping sopir. Justru kebiasaan itu pula yang membuat Jatnika pernah terkena getahnya.

Suatu hari, Edi memerlukan pergi ke Bandung. Jatnika yang saat itu baru saja diangkat menjadi ajudan, diminta Edi untuk ikut pula. Ketika Jatnika akan memasuki mobil bagian depan, Edi memegang badannya. Dengan memakai isyarat, dia meminta Jatnika untuk duduk di belakang sopir.

Tentu saja Jatnika awalnya bingung. Selama perjalanan ke Bandung, dia tak berani menyandarkan tubuhnya ke jok mobil dan selalu duduk dalam posisi bersiap. Bukan main pegalnya, kata Jatnika. Saat kemudian soal itu diketahui Edi, sang panglima hanya tertawa saja.

You May Also Like

More From Author