Jakarta – Revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang saat ini dibahas di DPR, harus dilakukan secara transparan dan berbasis ilmiah.
Ini merupakan salah satu harapan yang mengemuka dalam lokakarya yang diadakan Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (FOReTIKA) dan USAID-BIJAK di Jakarta, Kamis 4 Mei 2017.
Nara sumber dalam lokakarya selama dua hari adalah Hariadi Kartodihardjo dan Sambas Basuni (keduanya guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor), Haryanto Putro dan Nyoto Santoso, dosen Fakultas Kehutanan IPB.
“Kami curiga ada kepentingan yang bermain di sana,” kata Sambas Basuni. Dia merujuk pada draft revisi yang dibuat Badan Keahlian DPR.
Misalnya ketentuan bahwa konservasi di daratan merupakan kewenangan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sementara di pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi kewenangan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Menurut Sambas, keanekaragaman hayati (kehati) itu tidak bisa dibagi-bagi atau dikavling- menjadi darat, laut dan udara. Kehati, ujarnya, merupakan satu kesatuan atau integratif di daratan dan perairanan.
“Selain itu, ini undang-undang negara atau publik, bukannya undang-undang sektor atau kementrian,” katanya.
Sambas juga menyoroti dua draft revisi UU No 5/1990 yang dibuat DPR dan KLHK. Draft yang dibuat DPR terdiri atas 208 pasal dan memandatkan 25 peraturan pemerintah (PP). Sementara draft yang dibuat KLHK memiliki 225 pasal dan memandatkan 19 PP.
Dia menilai draft tersebut terlalu teknis dan butuh peraturan pemerintah yang kelewat banyak.
“Kebanyakan mandat PP-nya, kapan mau kerja,” katanya.
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Konservasi, Andri Santosa terkejut dengan proses pembahasan di DPR. Awalnya Komisi IV membuat panitia kerja yang diketuai Viva Yoga Mauladi (anggota DPR dari Fraksi PAN).
anja ini sudah melakukan diskusi dan rapat dengan berbagai pemangku kepentingan. Mereka telah membuat draft revisi.
Belakangan muncul panja yang diinisiasi oleh Badan Legislasi DPR. Panja ini diketuai Firman Subagyo, anggota DPR dari Partai Golkar yang selama ini menuduh sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Tanah Air adalah kaki tangan asing.
“FOReTIKA harus ambil peranan dengan membuat naskah akademik yang transparan dan berbasis ilmiah,” ujar Andri. Dia khawatir kepentingan korporasi menyusup dalam pembahasan di DPR.
sumber : tempo.co