Serpong – Google Map menunjukkan posisi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di seberang Mal Serpong. Namun ghalibnya, arah itu menuju jalan perkampungan bukan ke pertokoan. Akhirnya rencana ke museum itu batal. Dua minggu kemudian, hal serupa diulang lagi. hasilnya, Google menuju kompleks pertokoan Golden Road Serpong.
“Ketika kami tiba di sana bangunan museum Pustaka Peranakan Tionghoa berupa ruko 3 lantai yang bagian depannya berwarna merah. Sayang sekali ketika itu Pustaka ini tutup,” tulis Tjandra Ghozalli di media sosial.
Dari balik pintu kaca dia melihat banyak media cetak seperti majalah Star Weekly, SinPo dan buku-buku drama dan buku-buku sejarah karya penulis Tionghoa tempo doeloe tersusun di meja dan rak. Ada secarik kertas di pintunya tertulis “Owner Azmi” beserta sederet no HP. Beberapa hari kemudian kami janjian melalui WA untuk bertemu di Eat & Eat, Pluit Village.
“Bang Candra?” tanya mas yang agak gemuk.
“Iya. Ini pak Azmi?” jawab sekaligus tanya saya dan dia menjawab benar. Sungguh di luar dugaan tadinya saya kira ownernya orang Tionghoa berkulit putih dan bermata sipit.
Ini sungguh beda bermata besar dan berkulit sawo matang. Tapi saya curiga jangan-jangan Cinben alias Cina Benteng. Ternyata dugaan saya juga meleset. Mas yang agak gemuk bernama Azmi Abubakar adalah asli putra Aceh beragama Islam dan mas yang berambut agak gondrong bernama Bambang Sriyono asli putra Jombang beragama Islam.
Bermula ketika kerusuhan Mei 98, Azmi bersama teman-teman kampung Serpong menjaga permukiman Tionghoa dari serbuan perusuh. Terbersit pikiran mengapa kok Tionghoa selalu jadi “korban” kerusuhan dan sebagai akademis bang Azmi tidak puas kalau hanya bertanya pada orang Tionghoa atau orang lokal yang jawabannya sering ngawur.
Maka dicarinya data melalui terbitan-terbitan media cetak peranakan Tionghoa tempo doeloe. Di sini wawasan Azmi terbuka sebab jauh sebelum terbentuk NKRI, koran dan karya kaum peranakan Tionghoa sudah berbicara soal cikal bakal Indonesia. Juga banyak penulis dan penerbit media Tionghoa bersimpati pada gagasan kemerdekaan Indonesia. Dibaca pula tentang Souw Beng Kong yang tidak lain dari pendiri Jakarta yang dulu bernama Batavia. Semua ini tidak tertulis di buku Sejarah Nasional kita.
Semua ini tidak diketahui oleh generasi muda Tionghoa maupun generasi muda lokal kita. Untuk itulah bang Azmi membuka Museum Pustaka Peranakan Tionghoa yang visinya untuk mengingat kembali kiprah orang Tionghoa tempo doeloe yang turut berperan dalam menyongsong kemerdekaan Indonesia.
Tanpa ada media cetak Tionghoa Peranakan maka jejak perintis kemerdekaan Indonesia menjadi kabur. Sebab media Belanda tidaklah fair dan media lokal ketika itu masih minim jadi media Tionghoa Peranakanlah adalah satu-satunya yang masih menjadi bukti absah tentang keperintisan kemerdekaan Indonesia. Ada semangat “balas budi” di dada bang Azmi untuk menyebar-luaskan pengetahuan ini terutama pada pemuda lokal.
Kemudian bang Azmi mengajak pemuda Betawi situ Bintaro untuk mengunjungi makam Sauw Beng Kong untuk menghayati serta membersihkan (menyapu dan menyabit) rumput makam tersebut. Banyak hal yang dilakukan bang Azmi bersama bang Bambang merangkul pemuda lokal untuk mengetahui kiprah peranakan Tionghoa di masa lalu.
Universitas Peranakan
Selama ini semua aktivitas bang Azmi dari kocek sendiri. Hal ini dilakukan supaya tidak dibilang sebagai tokoh bayaran. Beruntung Azmi adalah insinyur sipil dan kontraktor bangunan sehingga
mampu membiayai Perpustakaan Tionghoa ini. Azmi berencana membangun Universitas Cheng Ho yang salah satu kurikulumnya membahas tentang kiprah peranakan Tionghoa Indonesia, untuk itu sudah disiapkan tanah 10 Ha di Aceh, Sumatera Utara. Selain itu sudah dibeli tanah 1000 meter persegi di Serpong untuk dibangun Museum Pustaka Peranakan Tionghoa secara permanen dan lebih bagus dari yang ada sekarang.
Benar pendapat bang Azmi, kalau mau didengar tentang sejarah peranakan Tionghoa secara nasional harus berasal dari orang lokal, bukan dari orang Tionghoa sendiri. Maka dalam hal ini mari kita orang Tionghoa peranakan turut membantu visi bang Azmi ini tidak dalam bentuk uang tapi dalam bentuk kerja sama menyingsingkan lengan baju.