Jakarta, WartaBHINEKA – Pragmatisme partai politik terlihat dalam Pilkada 2018 yang digelar di 171 daerah. Selain dari cairnya koalisi yang dibangun, hal itu juga terlihat dari sedikitnya jumlah rata – rata pasangan calon yang ikut serta jika dibandingkan dengan pilkada sebelumnya.
Meski hasil di pilkada tak selalu sama dengan hasil pemilu, parpol juga terlihat berusaha memanfaatkan Pilkada 2018 sebagai persiapan menghadapi Pemilu 2019. Pilkada setidaknya menjadi momentum untuk membaca preferensi pemilih atau memanaska mesin partai di daerah.
Pendaftaran peserta Pilkada 2018 ditutup pada Rabu (10/1) pukul 24:00 waktu setempat.Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, hingga pukul 23:00, ada 529 bakal calon yang mendaftar di 165 daerah.
Dari jumlah itu, 509 yang diterima dari 19 pasang bakal calon dinyatakan berkasnya belum lengkap sehingga diberi kesempatan meperbaiki berkas hingga pukul 24 :00.
Jika dihitung, artinya di tiap daerah rata – rata ada 3,0 hingga 3,2 pasangan bakal calon. Angka itu lebih rendah dari rata – arata pasangan bakal calon yang mendaftar Pilkada 2017 yang mencapai 3,3 pasangan bakal calon di tiap daerah. Saat itu, ada 337 pasangan bakal calon yang diterima pendaftarannya di 101 daerah.
Penurunan jumlah pasangan bakal calon pada Pilkada 2018 kali ini juga membuat bertambahnya pasangan calon tunggal. Berdasarkan data KPU pukul 23:00, ada 14 daerah yang baru punya satu pasang pendaftar.
Pada 2015, dari 269 daerah penyelenggara pilkada, ada tiga pasangan calon tunggal. Di Pilkada 2017 di 101 daerah, jumlah itu bertambah menjadi sembilan pasangan calon tunggal.
Di Pilkada kali ini, juga ada 45 daerah yang hanya diikuti dua pasangan calon. Untuk pemilihan gubenur yang digelar di 17 provinsi, kontestasi yang hanya menghadirkan dua pasang calon terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Papua dan Maluku.
Anggota Badan Pengawas Pemilu, M Afifuddin, menuturkan proses pendaftaran pilkada memang berlangsung relatif tanpa persoalan. Namun, bertambahnya jumlah daerah yang pilkadanya hanya calon tunggal dan dua pasang calon berpotensi menaikkan tensi politik di daerah tersebut.
Terkaitnya hal itu, komisioner KPU Ilham Saputra mengajak semua pihak menjaga suasana damai di pemilihan tenang.
Kesepakatan antarparpol
Aditya Perdana, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, menilai pragmatisme politik membuat pilkada hanya diikuti oleh rata – rata 2-3 pasangan calon di tiap daerah. Parpol ditengarai memahami bahwa pilkada membutuhkan biaya tinggi sehingga mereka memutuskan hanya mendukung kandidat yang berpotensi menang. ” Selain itu, mungkin pula ada ‘kesepakatan’ antarparpol. Setelah itu, baru pertimbangan sosial demografis.’ katanya.
Kesepakatan antarparpol ini antara lain terlihat dari keputusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berkoalisi dengan PDI = P di Pilkada Sumatera Utara dengan mengusung pasangan Djarot Saiful Hidayat dan SIhar Sitorus. Sekertaris Jenderal PPP Arsul Sani Menuturkan, keputusan partainya itu tidak terpisah dari kesepakatan PPP dengan PDI – P di daerah lainnya, seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat.
DI Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang diusung PDI – P dipasangan dengan Taj Yasin Maimoen yang merupakan kader PPP. Sementara di Jawa Barat, PDI-P yang awalnya berencana mengusung Ridwan Kamil bersama PPP mengubah dukungan dengan mengsung TB Hasanudin – Anton Charliyan. Sebagai dampaknya, kader PPP yaitu UuRuzhanul Ulum, menjadi cawagub, Ridwal Kamil.
” Itu bentuk kesepakatan, tetapi ini bukan berarti suatu daerah dikorbankan, satu daerah diuntungkan, Saya kira itu terjadi juga di partai lainnya,: Kata Arsul di Jakarta.
Konsolidasi
Wakil Sekertaris Jenderal Partai Golkar Ace Hasan Syadzily melihat, Pilkada 2018 juga menjadi langkah awal konsolidasi parpol dalam menghadapi Pemilu 2019. Pilkada dijadikan ajang partai untuk menyosialisasikan visi, misi, dan kadernya di tingkat akar rumput serta mematangkan modal sosial dan politik partai di daerah.
Namun, pilkada beum bisa dijadikan tolaj ukur untuk melihat hasil pemilu, Pengalaman selama ini, partai yang memenangi pilkada di daerah tersbut.
Sebagai contoh, Pilkada 2013 di Jawa Timur dimenangi pasangan Soekarwo – Saifullah Yusuf yang antara lain diusung Partai Demokrat, Golkar, PPP, PAN, PKS, Gerindra. Namun PKB jadi peraih terbanyak DPRD Jatim di Pemilu 2014.
Hal serupa terjadi dalam Pilkada 2013 di Jawa Barat yang dimenangi pasangan Ahmad Heryawan – Deddy Mizwar yang diusung PKS, PPP, Hanura. Namun, peraih kursi terbanyak DPRD Jabar pada pemilu 2014 adalah PDI-P.
Peneliti politik Dapartemen Ilmu Politik Unversitas Indonesia, Panji Anugrah, menuturkan hasil pilkada dan pemilu memang tidak selalu beririsan. Apalagi, dalam pilkada, koalisi antar parpol juga sangat cair.
Namun, parpol yang memenangi pilkada akan punya kepercayaan lebih tinggi di daerah tersebut. Kandidat terpilih yang mereka usung juga terbuka kemungkinan bisa menjadi pengumpul suara dalam pemilu.
Guru Besar Politik Universitas Airlangga Surabaya Ramlan Surabakti menuturkan, hasil pilkada juga menjadi masukan berharga bagi partai untuk mengetahui arah kencenderungan perilaku pemilih. Hal ini akan penting sekali dalam menyusun strategi untuk menghadapi pemilu. Pengalaman dalam menghadapi pemilihan gubenur di provinsi – provinsi utama dengan jumlah penduduk besar di Pulau Jawa dan pulau lain akan menjadi pengalaman berharga bagi partai dalam mengajukan calon presiden. (Dikutip Harian Kompas, Kamis 11 Januari 2017).