Jakarta, WartaBHINEKA – Kaum perempuan yang pertama menanggung beban akibat rusaknya Bumi. Penyebutan Bumi sebagai perempuan, yang ada di berbagai kebudayaan, bakal menjadi elegi berkepanjangan.
Bumi amat dekat dengan sososk perempuan. Dlam praktik budaya dan kehidupan, sekitar 60 persen penggarapan sawah atau lahan adalah kaum perempuan. Sebagian besar, sekitar 85 perseb, penggerak 5.300 bank sampah di seluruh negeri adalah kaum perempuan.
Seperti biasa, pengakuan akan peran perempuan selalu ada disana . Bahwa, hampir di semua kebudayaan di muka Bumi, Bumi direpresentasikan sebagai perempuan.
Ibu Pertiwi, Gaia atau Mother Earth (Ibu Bumi), atau dengan sebutan lain yang bermakna perempuan atau Ibu. ” Banyak adat dan budaya bangsa ini memandang alam sebagai Ibu. Jika alam disakiti, maka sakitlah sang Ibu. Jia sang Ibu sakit, maka terganggulah kehidupan keluarga,” demikian penegasan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dalam acara “Dialog dengan Pejuang Perempuan untuk Keadilan dalam Pengelolaan SDA,” Rabu (28/3/2018), di Jakarta.
Bumi dalam beragam kebuadayaan dipandang dalam perspektif sebuah lanskap, sebuah jalinan ekosistem yang berkelindan. Tidak tersegregasi, tidak terpotong- potong menjadi kepingan – kepingan narasi, tentang pohon, tentang hewan, tentang tanah, tentang air, tentang kandungan minyak dan mineral, dan tentang udara.
Sebuah lanskap memilki sejarah sosial, proses evolusi, suksesi struktur dinamika manusia, dan modifikasi manusia, serta merupakan sejarah evolusi sosial ala.
Di dalam semua proses itu perempuan selalu hadir, tetapi sering kali mereka ditempatkan pada posisis subordinasi. Budaya patriarki telah menempatkan perempuan sebagai aktor tambahan atau pendukung laki laki (Hidup di Tengah Kemelut, SItuasi Perempuan di 11 Situs Krisis Sosial, Ekologis 2018).
Perempuan tak henti bergulat dengan beragama isu, konflik, hak kelola dan hak atas tanah. serta isu ketertinggalan perempuan akibat dari pendekatan pembangunan yang bias jender. Di sisi lain, narasi – narasi yang ditiupkan di hari – hari,”sakral” : hari – hari peringatan terkait Bumi, peringatan sosok perempuan, dan di meja – meja perundingan lingkungan hidup global.
Faktanya, 60 persen penggarap lahan adalah kaum perempuan. Namun, mereka pula yang tak memiliki akses terhadap informasi, tak memiliki akses dan tidak terlibat dalam pembuatan kebijakan terkait lahan, serta minim pengetahuan karena kurangnya pendidikan. Kondisi ini tak dapat dilepaskan budaya patriarki yang berlaku hampir di sekujur negeri.
Konflik dan hak atas lahan
Berdekade – dekade, cerita konflik dan perjuangan merebut hak atas tanah terus melekat pada dunia perempuan dari Sabang sampai Merauke. Ada yang dari Aceh, Kalimantan Timur, Riau, Jawa Tengah, Papua dan dari sejumlah wilayah Indonesia lainnya. Mereka bicara tentang konflik yang mendera, soal hilangnya lahan kehidupan, hilangnya ruang hidup bersama.
Setahun lalu, perempuan bernama Patmi meninggal setelah lebih dari sepekan memperjuangkan lahan pertanian di daerah Pegunungan Kendeng, Pati Jawa Tengah, bersama Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK).
Pada pertemuan itu beberapa perempuan dari wilayah – wilayah program Setapak (Selamatkan Lahan dan Hutan Melalu iPerbaikan Tata Kelolal) The Asia Foundation menyuarakan perjuangan panjang mereka.
“Kami minta pemerintah segera menutup tambang enas yang merusak hutan kami.
Kembalikan status hutan dan segera lakukan reklamasi , ” ujar Fitriyanti, warga Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.
Perempuan banyak terkepung isu – isu : konflik lahan, agraria, kekerasan dan kerusakan lingkungan. Mereka sering kali berhadapan dengan pemerintah, perusahaan, bahkan aparat keamanan.
Ressy Tri Mulyani, Kepala Divisi Kedaulatan Perempuan atas Tanah dari Solidaritas Perempuan Palembang, mengeskan, perempuan sebagai penanggung jawab urusan domestik jarang dilibatkan dalam diskusi rapat – rapat. ” Mereka sering dilupakan,. Juga dalan proses pengambilan keputusan, pengusulan, penyusunan, rencana kerja, tidak diperhitungkan, Suara perempuan tidak terakomodasi, “ujarnya.
Siti Maemunah dari Sajogyo Institute menggarisbawahi, ” perjuangan perempuan itu erlapis : adat yang mengekang, dan pendidikan kurang karena dinomorduakan. Mereka berjuang hanya agar mereka dianggap setara, ” Dia mengusulkan agar ada indikator yang jelas untuk mengukur keterlibatan perempuan dalam perencanaan, pengelolaan,dan evaluasi penerapan sebuah kebijakan.
Hana Wasanggai dari Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PT PPMA) Papua bertutur tentang tanah masyarakat adat Kamoro menjadi tempat limpahan limbah tambang dan 400. 000 hektar lahan masyarakat adat di Kabupaten Jayapura diambil perusahaan perkebunan kelapa sawit.
” Bagaimana menghentikan perkebunan sawit yang telah merusak lingkungan alam kami? “serunya.
Dari pengumpulan informasi yang dilakukan organisasi Pusaka dan setidaknya tujuh organisasi nonpemerintah lainnya, saat ini sudah puluhan izin perkebunan tersebar di Papua. ‘
Siti mengakui, “Semua kerusakan lingkungan hidup menimbulkan beban derita yang banyak dipikul perempuan.”
Ke depan, janji Siti, “Semua pengelolaan SDA (sumber daya alam ) harus berperspektof jender. Kami akan melakukan afirmasi terkait alokasi akses hutan bagi kepala keluarga perempuan, ” Ia juga berkomitmen untuk memasukkan analisis jender dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Kerja kabinet ini akan efektif sekitar setahun atau kurang. Membongkar buadaya patriarki yang berakar demikian dalam sebuah kerja keras. Lntas, apakah frasa ” Bumi dipandang sebagai perempuan” hnaya akan menjadi elegi berkepanjangan bagi para pejuang perempuan ?(Dikutip dari Harian Kompas, Selasa 10 April 2018).