Bulan puasa tinggal hitungan hari, berbagai daerah di Jawa kita jumpai berbagai bentuk ritual sadranan atau biasa disebut nyadran atau ruwahan atau megengan, karena dilaksanakan pada bulan Ruwah dalam hitungan kalender Islam Jawa.
Tradisi yang hingga saat ini masih berlangsung di kalangan masyarakat desa dan bahkan kota itu mempunyai makna simbolis, yakni menguatnya hubungan diri orang Jawa dengan para leluhur yang telah mendahului, hubungan dengan sesama, dan hubungan dengan Tuhan Yang Mahakuasa.
Tradisi nyadran intinya berupa ziarah kubur pada bulan Sya’ban (Arab), atau Ruwah dalam kalender Jawa. Tradisi itu menjadi semacam kewajiban bagi orang Jawa sebagai balas budi terhadap leluhur. Ziarah dengan membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun untuk leluhur, dan tabur bunga tersebut adalah simbol bakti dan ungkapan penghormatan serta terima kasih seseorang sebagai manusia kepada para leluhurnya.
Makna yang terkandung dalam persiapan puasa di bulan Ramadan adalah agar orang mendapatkan berkah dan ibadahnya diterima Allah. Lewat ritual nyadran, masyarakat Jawa melakukan penyucian diri, membersihkan batu-batu nisan dari rumput liar dan ilalang, dan melakukan doa. Meski bentuk kegiatan sama, namun makna nyadran sangat berbeda dengan ziarah kubur.
Berbeda dengan ziarah kubur, ritual nyadran dilakukan secara kolektif, melibatkan seluruh warga desa. Ritual nyadran ini biasanya dilakukan di dua pusat bangunan desa, yaitu makam dan masjid. Biasanya, setelah melakukan bersih makam, acara beralih pada kenduri yang biasanya digelar di masjid. Sebagaimana kenduri pada umumnya, agendanya adalah berdoa dan makan nasi kenduri, yaitu berupa nasi tumpeng dengan lauk ingkung ayam, urap-urapan, buah-buahan, serta jajan.
Di beberapa desa yang tradisi nyadran-nya masih kuat, masyarakat meletakkan aneka sesaji dalam sebuah tenong, yaitu nampan bulat yang terbuat dari anyaman bambu, dengan alas daun pisang atau daun jati. Satu tenong dikepung beberapa orang sekaligus. Ketika acara doa atau tahlilan selesai, maka mereka akan makan beramai-ramai.
Melalui rangkaian tradisi nyadran itulah orang Jawa merasa lengkap dan siap untuk memasuki ramadhan, bulan suci yang penuh berkah itu.
Sebab, bagi orang Jawa, nyadran juga berarti sebuah upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, memperbaiki hubungan baik dengan masyarakat dan lingkungan, serta menunjukkan bakti kepada para leluhur mereka.