Gotong Royong Melawan Pandemi

Editor: Amir Sodikin
Oleh Abhiram Singh Yadav, M.Sos*

PANDEMI Covid-19 telah menjadi kenormalan baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada saat kita memasuki tahun 2021.

Anggapan kenormalan baru ini pun kerap menjadi problematika tersendiri di kala masyarakat secara umum maupun figure publik mengesampingkan bahaya pemaknaan sesungguhnya ‘hidup berdampingan’ dengan virus Covid-19.

Hal ini kemudian berdampak pada peningkatan drastis angka kasus positif Covid-19 di akhir tahun 2020 dan awal 2021.

Kemudian, kehadiran program vaksinasi nasional dalam rangka solusi penangulangan pandemik Covid-19 menjadi secercah harapan baru di awal tahun 2021 akan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi masyarakat yang selaras dengan amanat Pasal 28 H (ayat 1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Harapan ini sekaligus tidak luput dari kekhawatiran terjadinya perasaan comfort zone (zona nyaman) yang justru dapat menimbulkan ignorance terhadap pelaksanaan protokol kesehatan.

Tentu hal ini sesungguhnya dapat di antisipasi dengan penerapan hukum yang ketat melalui pengawasan intensif. Persoalnya sejauh mana konsistensi akan tindakan pengawasan melalui instrumen hukum yang ada.

Nampaknya, persoalan utama dalam hal ini adalah public memory is short (memori publik itu pendek). Kita kerap lupa atau mengesampingkan peristiwa masa lalu, sebagaimana kita kerap mengesampingkan protokol kesehatan dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang sudah biasa dan bukan lagi ‘darurat luar biasa’.

Sebagaimana juga kita kerap mengesampingkan bahwa sesugguhnya pengelolaan darurat pandemi tidak terlepas dari gerakan gotong-royong dengan saling menjaga demi bertahan hidup di masa pandemik ini. Sebagaimana dicetuskan oleh Prof Mohammad Nasroen (1907-1968), gotong-royong memiliki kharakteristik dari Bahasa Jawa yang berarti mengangkat (gotong) dan bersama (royong).

Hal ini kemudian menjadi dasar filsafat Indonesia sebagaimana tercermin pada sila-sila Pancasila. Dalam konteks pandemi, filasafat ini menjadi relavan saat aktor negara, aktor non-negara dan masyarakat dituntut untuk bekerjasama menjaga lingkungan sekitar serta saling melindungi terhadap penyebaran virus Covid-19.

Lebih lanjut, sebagaimana diutarakan oleh Guru Besar Univeritas Pelita Harapan Prof Aleksius Jemadu, melemahnya multilaterlisme di masa pandemik Covid-19 membuat negara tidak dapat saling bergantung dan justru menguatkan nasionalisme.

Dalam konteks Indonesia, tentu premis ini dapat di benarkan khususnya jika kita melihat kembali peran masyarakat, dokter, aktor non-negara (non-state actor) hingga aktor negara (state actor) yang saling bahu-membahu pada awal kegelapan pandemi Covid-19, ketika saat yang sama negara-negara lainnya menghadapi tantanganya tersendiri.

Gotong-royong dalam konteks Indonesia bukanlah suatu volunteerism (kesukarelaan) dalam pemikiran modern, melainkan jati diri sesungguhnya bangsa Indonesia yang terbentuk melalui proses perjalanan sejarah yang panjang.

Persoalannya adalah, apakah kita menyadari pentingnya konsistensi pemaknaan gotong royong secara menyeluruh dalam penanggulangan pandemik Covid-19?

Gotong-royong dalam kegelapan

Dalam kejutaan pandemik abad ke-21 ini, para state actors (aktor negara) berhadapan dengan kepanikan dalam menganggani virus yang menjadi ‘musuh global yang tak terlihat’.

Harapan atas pengalaman hipotesis flu burung bahwa virus akan menghilang menjelang musim panas pun tidak pernah terjadi.

Bahkan beberapa pimpinan negara membangun harapan akan adanya secercah sinar di ujung terowongan (light at the end of the tunnel). Nampaknya, terowongan yang di maksud selama ini kemungkinan adalah jalan menuju vaksin Covid-19.

Namun, di era globalisasi kini, negara bukanlah aktor tunggal dalam meyelesaikan persoalan dunia saat ini. Justru negara-negara menghentikan kegiatan globalisasi di saat kerjasama global sangat dibutuhkan.

Selama satu tahun pertama pandemi, negara dituntut atau menuntut dirinya sendiri untuk mampu mengatasi pandemi kesehatan ini secara mandiri.
Dampak dari situasi tersebut, ada yang memilih tindakan regulasi tegas sepihak dari negara dalam penerapan lockdown total, ada pula yang berharap pada pastisipasi masyarakat dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ala Indonesia.

Pada saat negara sedang sibuk menyiapkan berbagai regulasi, yang justru menarik adalah peran non-state actor (aktor non-negara) yang bergerak cepat dalam semangat gotong-royong menyelamatkan mayarakat dari virus yang tidak ‘bergantung pada regulasi’ sebuah negara secara global.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) secara kolektif maupun para individu tokoh aktor non-negara dan tentu juga para tenaga kesehatan patut mendapatkan apresiasi tinggi, bahkan sesungguh dapat di kategorikan sebagai pahlawan terkait peran respons awal meghadapi pandemi ini.

Dari awal hingga kini, mereka sesungguhnya tidak pernah menunggu regulasi pemerintah, melainkan menjiwai makna filosofis gotong-royong dalam menghadapi darurat kemanusiaan yang sedang melanda. Mereka mempertaruhkan harta, martabat, jiwa dan raga demi menyelamatkan setiap insan manusia.

Dalam konteks Indonesia, salah satu contoh nyata yang menjadi sorotan adalah Tomy Winata melalui Yayasan Atha Graha Peduli (AGP). Sosok individu Tomy Winata ini unik karena anggapan umum bahwa AGP sesugguhnya adalah sarana menyaluraan apirasinya, berbeda dengan oganisasi non-profit lainnya yang bergerak secara kolektif.

Sebagaimana kita ketahui, pengusaha nasional yang kerap berkontribusi besar terhadap bencana alam dan kemanusiaan ini adalah aktor non-negara yang pertama di Indonesia dalam kontribusi penangulangan Covid-19 di Indonesia.

Bermula pada Febuari-Maret 2020, saat negara belum memiliki regulasi-regulasi menghadapi pandemik Covid-19, AGP menyalurkan bantuan kepada pemerintah dalam penyediaan tempat isolasi dan observasi bagi 188 WNI kru kapal pesiar World Dream di pulau Sebaru Kecil (Kepulauan Seribu), Artha Graha kemudiaan berpacu dalam waktu menyediakan pusat kesehatan darurat dengan menyediakan fasiltas pemeriksaan Covid-19 secara gratis bagi masyarakat kurang mampu.

Bahkan membantu dalam penyediaan peralatan perlindungan bagi tenaga kesehatan. Langkah nyata inipun berlanjut hingga kini dengan keterlibatan oleh lebih banyak organisasi lainnya.

Contoh ini menarik sebagai kenyataan yang relavan bahwa roh gotong-royong dalam masyarakat Indonesia sesngguhnya tidak pernah luntur, dimana pemaknaan gotong-royong adalah dimana negara sebagai aktor dan aktor non-negara secara bersama-sama dan bukan secara sendiri-sendiri, memiliki tangungjawab moril dalam menjaga lingkungan sekitar, dalam konteks ini terhadap pandemik Covid-19.

Sebagai perbandingan di awal masa pandemik dengan negara-negara penduduk terbesar di dunia, langkah di China sama sekali berbeda dengan Indonesia dimana penangulangan Covid-19 di Wuhan dilakukan dengan penerapan lockdown penuh dan pembangunan fasilitas kesehatan secara rapid yang sepenuhnya dipimpin oleh negara.

Penerapan lockdown di China pun mimiliki lack of communication antara masyarakat dan pemerintah. Sekalipun demikian, Wuhan berhasil menerapkan disiplin luar biasa hingga akhirnya mendeklarasikan temporary victory (kemenangan sementara) atas Covid-19.

Urgensi penerapan lockdown pun akhirnya memengaruhi pemerintahan negara-negara lain terkait metode penangulangan pandemik ini. Sejalan dengan China, India menerapkan lockdown total terbesar di dunia terhadap lebih dari 900 juta penduduk dari total 1,3 miliar penduduk negri Bollywood tersebut.

Uniknya, pemerintahaan New Delhi membangun komunikasi politik yang unik dengan masyarakat awam dan pedesaan melalui perumpamaan Ramayana.
Perdana Mentri Narenda Modi mengibaratkan saat Rama membuat garis api agar Shinta tidak keluar dari rumah selama 21 hari dan menyerukan agar setiap sore hari tiap keluarga untuk berdiri di jendela atau balkon rumah masing-masing dan memberi tepuk-tangan sebagai bentuk appresiasi dan semangat kepada para dokter dan tenaga medis yang mempertaruhkan jiwa dan raga menghadapi pandemik Covid-19.

Langkah ini pun di nilai berhasil mengedukasi situasi saat itu, tentu bersamaan dengan pengawasan disiplin yang sangat tinggi.

Berbeda dengan China dan India, Amerika Serikat (AS) menyikapi pandemi awal melalui diskursus politik domestik oleh mantan Presiden Donald Trump yang bebarengan dengan pendekatan ilmiah Dr. Anthony Fauci.

Hal yang menarik adalah kasus ini membuka ruang perdebatan antara politik dan ilmuwan tanpa adanya intervensi. Secara kasat mata, masyarakat AS pun mengalami ‘kegalauan’ sekaligus pengetahuan akan langkah pilihan individu.
Akan tetapi, situasi kini berubah dengan Presiden terpilih Joe Biden yang langsung bergerak cepat menyelaraskan politik kepada ilmu pengetahuan, hal ini tentu dengan penerapan dan pengawasan hukum secara ketat dan menyerukan pentingnya disiplin protokol kesehatan.

Pola penanggulangan Covid-19 di Indonesia pun berbeda dengan negara-negara lain pada umumnya, dimana di berbagai belahan dunia nampaknya masyarakat bergantung kepada kebijakan aktor negara secara sepihak.

Hal ini akhirnya berdampak terhadap lockdown besar-besaran di berbagai belahan bumi. Kehadiran organisasi non-profit hanya sebagai pendamping yang belum tentu berkaloborasi dengan negara, hal ini di karenakan pengalaman non-profit movement kerap sebatas bencana-bencana umum dan bukan darurat pandemik seperti saat ini.

Lebih jauh, perasaan sesungguhnya pemaknaan seni gotong-royong ini berbeda dengan penyebaran awareness secara umum, ketika gotong royong menjadi tindakan nyata secara bersama-sama dan menyeluruh.

Pemaknaan gotong-royong yang terbangun di Indonesia telah melalui proses sejarah yang panjang, ketika hubungan emosional antara negara dan masyarakat secara sukarela tidak dapat dipisahkan.

Lebih jauh, gotong-royong bukan hanya persoalan kecintaan terhadap kesehatan lingkungan sekitar tapi justru kesehatan sebagai bangsa secara utuh. Gotong royong juga menyadarkan bahwa makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan makhluk sosial lainnya.

Hal ini sangat relavan dalam penangulangan Covid-19 di Indonesia saat masyarakat perlu menyadari pentingnya menjalankan protokol kesehatan demi saling melindungi, membantu tetangga yang terinveksi Covid-19, hingga menjalankan langkah-langkah dari pemerintaah dalam menekan angka penyebaran virus Covid-19.

Meskipun masih terjadinya pelanggaran penerapan protokol kesehatan oleh oknum-oknum yang kurang bertanggunjawab, gotong-royong melawan pandemik Covid-19 di tingkat RT/RW nampaknya memiliki harapan agar terlaksana cukup baik dengan pola ciri kekhasaan, kelebihan dan juga kekurangan wilayahnya masing-masing. Hal inilah yang akhirnya menjadi tujuan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berbasis Mikro.

Keyakinan Pemerintah

Berbeda dengan negara-negara lain yang menerapkan kebijakan lockdown total, Indonesia mengimplimentasikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berserta keturunannya hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berbasis Mikro dengan terus berupaya untuk makin diperketat.

Nampaknya Pemerintah memiliki keyakinan atas terwujudnya perasaan (feeling) terhadap identitas kesadaran gotong-royong masyarakat bersama aktor-aktor non-negara dalam sebuah kaloborasi secara bahu-membahu dalam penangulangan pandemik Covid-19 di seluruh Nusantara. Hal ini menjadi logis jika di pandang dari sudut antropologis dan geografis NKRI.
Premis di atas diperkuat dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang kerap mengajak masyarakat untuk menjadi pahlawan kemanusiaan bagi keluarga dan bangsa dalam melawan Covid-19.

Senada dengan Pemerintah, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) M Azis Syamsuddin meyakini bahwa melalui gotong-royong Indonesia akan mampu membuktikan kepada dunia akan kemampuan Indonesia dalam menangulangi Covid-19.

Harapan eksekutif dan legislatif itu pun ternyata menjadi harapan masyarakat, ketika dunia telah hidup berdampingan dengan Covid-19 hingga kini dan hanya dengan saling menjaga kita dapat bertahan hidup.

Persoalannya adalah, Covid-19 di Indonesia belum berhasil diredakan bahkan terus meningkat.

China berhasil memberi contoh pentingnya penerapan disiplin hukum. India memberi contoh pola komunikasi bahasa melalui sastra agar mudah dipahami masyarakat awam. Amerika Serikat berbenah dengan bercermin kepada ilmu pengetahuan.

Namun, masyarakat dan juga figur publik kita masih dalam semangat gotong-royong yang belum berhasil terkomunikasikan dengan pola inspiratif, disiplin yang masih mengesampingkan faktor ilmiah serta penegakan hukum yang mudah lelah.

Sekalipun demikian, pemerintah terlihat terus berbenah, berpacu mengupayakan metode-metode baru karena pandemi ini bukan hanya masalah kesehatan, tapi juga berdampak pada ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Hal ini dapat kita simak paska reshuffle kabinet yang memberi nuansa baru yang lebih tegas terhadap penggulangan pandemi hingga teladan Presiden Jokowi sebagai orang pertama yang divaksinasi vaksin Covid-19.

Terlepas dari segala perdebatan, usaha pemerintah patut diapresiasi, karena sesungguhnya belum ada metode tunggal yang berhasil di seluruh dunia. Pada akhirnya, pola penanggulangan pandemi di Indonesia akan kelak menjadi case study yang disandang dengan negara-negara lain.

Tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah menginspirasi dan menghargai peran aktor non-negara dan masyarakat dalam menjalankan kesadaran gotong-royong dalam implimentasi protokol kesehatan kedepan.

Apakah pemerintah akan menunggu pandemi untuk sepenuhnya teratasi? Atau mengapresiasi para tenaga kesehatan, dokter, aktor-aktor non-negara dalam suatu pola penghargaan segera sehingga menjadi inspirasi tersendiri dalam membangkitkan motivasi gotong-royong dan menekan angka penyebaran Covid-19?

Apakah kita akan memiliki tugu pahlawan pandemi Covid-19 sebagai sebuah inspirasi dalam menuntaskan sisa perang melawan virus ini? Sebagaimana kita ketahui, banyak di antara mereka telah gugur dalam menyelamatkan setiap jiwa manusia dan juga tentu keutuhan masa depan sebagai bangsa dan negara. (*Abhiram Singh Yadav, M.Sos | Pengamat Politik Hubungan Internasional | Ketua Umum Ikatan Alumni Magister Hubungan Internasional – Universitas Pelita Harapan)

berita:kompas.com

You May Also Like

More From Author