FLORES, WartaBHINEKA – Di Pusat Informasi sekaligus tempat persinggahan terakhir yaitu Desa Denge, saya diberikan waktu untuk berbincang dengan Pak Blasius Monta. Beliau adalah Warga Flores Asli yang bekerja sebagai Guru SD sekaligus penanggung jawab untuk para penggunjung yang ingin Desa Wae Rebo, (27/10/2017)
Pak Blasius yang lahir dan penduduk asli di sini merupakan salah satu orang pertama yang memperkenalkan Wae Rebo kepada masyarakat. Beliau menceritakan kisah dan harapannya tentang Desa yang penuh dengan keunikan ini.
Bermula dari senang foto dirumah sendiri, pada tanggal 26 Februari 2002, foto itu di pajang di sebuah hotel di Ruteng namanya Hotel Rima, kebetulan saat itu ada tamu yang ada di hotel itu dari Labuan Bajo menuju Kelimutu yang tertarik dengan hasil karya fotonya. Awalnya iseng – iseng saja.Saat itu tidak ada niat untuk menjadikan foto itu sebagai objek wisata.
Leluhur masyarakat wae rebo yang pertama datang dari Kampung Todo adalah suku nomaden, masyarakat Wae Rebo hidup dari bertani dimasa lalu mereka bertanam jagung, ubi talas. Lalu akhirnya mereka hanya menanam kopi. Dari hasil penjualan kopi mereka melengkapi kebutuhan.
Selama proses bercocok tanam di desa ini, tanaman bertumbuh subur, bahkan tidak ada gangguan dari hama dan hewan liar. Setelah itu para leluhur memutuskan untuk membangun sebuah tempat tinggal dan mengisi hari – hari untuk bekerja disini terutama produk yang unggulnya adalah kopi.
“Bagi kami wae rebo adalah rumah kami, tempat mata pencarian kami, yang unsur budaya nya harus selalu dijaga dan terpelihara. Jagalah Budaya kami ini, terutama para pengujung agar berkenan mengikuti aturan disini. Misalnya saja, batas untuk berkunjung ke Desa kami ini jam 6 sore, diluar itu kami tidak bisa menerima tamu karena ritual juga tidak bisa dilakukan malam hari.
“Dulu 15 tahun yang lalu kehidupan kami bahagia, sebelum desa ini banyak diminat masyarakat luar dan turis asing.. Jangan sampai kebahagiaan yang sederhana ini hilang karena sekarang untuk menginap di desa wae rebo, pengunjung mesti bayar. Harga yang dibayar oleh setiap pengujung adalah untuk makan mereka selama diatas, karena penduduk desa wae rebo juga mesti membeli bahan dapur untuk dimasak.d
Selain digunakan untuk tempat tinggal desa ini juga sebagai tempat melakukan acara adat seperti melakuakan ritual kelahiran, pernikahan dan kematian. Adapun kegiatan yang dilakukan rutin setiap tahun acara tersebut disebuat dengan Penti setiap 16 November. Penti merupakan upacara adat untuk mengungkapkan rasa syukur para warga Wae Rebo. Biasanya setelah upacara Penti, warga akan menggelar Tarian caci . Tarian caci ini mengandung makna, dimana dalam menghadapi persoalan hidup kita tidak boleh menyimpan dendam dan amarah walau pun telah disakiti.
Desa Wae Rebo di pelosok NTT dengan sejuta keelokannya, selalu merindukan kedatangan kita, Sudah menjadi tugas kita untuk menjaga dan mempertahankan kultur budaya yang masih asli ini. Desa Wae Rebo juga tempat yang bersejarah sehingga menjadi warisan budaya dunia oleh UNESCO pada tahun 2012.
Hari kami semakin berwarna dan bermakna ketika kami bermain bersama dengan adik – adik kecil kami yang berada di Desa Wae Rebo, meskipun keberadaan kami masih asing untuk mereka. Kebahagiaan itu datang di saat mereka mau menerima kita.