FLORES, WartaBHINEKA – Sampai di atas kita akan bertemu dengan sebuah pepak. Pepak ini dibunyikan untuk menyambut para tamu yang pertama kali datang ke desa ini, (27/10/2017)
Sebelum memulai berkatifitas, kami memasuki rumah adat Niang Gendang, rumah utama kepala suku. Rumah ini tempat di adakan Upacara Waelu’u sebagai pertanda tamu yang baru datang. Bersama Kepala Suku Bapak Alex, kami akan melakukan ritual untuk menghormati para leluhur yang ada di desa ini, dan berdoa bersama sehingga aktifitas para tamu selama disini berjalan baik dan lancar.
Kami menginap di salah satu 7 rumah Penduduk, bersama dengan pengujung lainya. 7 rumah ini diantaranya adalah Rumah Utama Niang Gendang, Niang Gena Pirung, Niang Gena Jintam, Niang GenaMaro, Niang Gena Mandok, Niang GenaJekong, Niang Gena Ndorom.
Filosofi Bentuk Rumah
7 Rumah ini sangat unik dan membuat selalu membuat kita terpanah untuk melihatnya, fondasi tiang berbahan kayu, bagian atapnya terbuat dari serabut dan ilalang yang dianyam menambah kehangatan didalam rumah.
Ditengah – tengah halaman terdapat rumah panggung (Compang) berbentuk bulat. Bentuknya serupa dengan Rumah di desa wae rebo pun yang memiliki bentuk melingkar dengan ikatan – ikatan kayu seperti tiga dimensi.
Bagi masyarakat wae Rebo yang menetap di kampung elok NTT. Rumah bukan sekedar rumah, Rumah adalah bagian dari mereka yang banyak memiliki arti. Yaitu Sebuah kesatuan persatuan yang damai bagi kehidupan.
Penghuni kampung Wae rebo ditinggali oleh penduduk yang sudah lanjut usia dan anak- anak yang belum sekolah. Bagi mereka keseimbangan dalam hidup sangat penting, segala sendi kehidupan mereka terpola pada satu pusat yakni pola lingkaran terpusat. Pola ini dapat kita lihat di kampung dan halaman rumah wae rebo. Ditengah halaman rumah terdapat tumpukan batu berbentuk bulat yang disebut dengan compang. Compang adalah pusat kehidupan untuk menjaga kampung ini.
Saat ini, usia Desa Wae rebo mencapai 1080 tahun dari 19 generasi, satu rumah diisi oleh 8 kartu keluarga dan jumlah penduduknya hampir 800 orang.
Penduduk di Desa ini sangat menghormati sosok ibu tercermin pada 9 sembilan tiang yang menahan fondasi rumah, artinya selama 9 bulan adalah waktu yang reproduktif untuk melahirkan anak. Ibu adalah guru terbaik.
Menjelang Malam, udara semakin dingin, tapi secangkir Kopi asli flores dan teh dihidangkan dengan khidmat. Jamuan makan malam, nasi jagung, sambal hijau, dan ayam juga disiapkan untuk kami dan pengujung lainnya. Makan malam kala itu membuat kami mengenal satu sama lain, tidak ada perbedaaan suku, ras dan budaya semua mengalir sederhana.
Didalam rumah wae rebo, pengujung dapat membeli oleh – oleh Khas Flores seperti kain etnik , kopi flores, dan aksesori yang unik.
Sebelum beristirahat, kami memutuska untuk mencari udara segar di halaman rumah penduduk. Taburan cahaya bintang kami abadikan dengan potret foto dari mas yudi dan koh tria kawan, teman baru yang kami kenal di desa wae rebo. Sang semesta mengakrabkan kita.