Jakarta, WartaBhineka – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai deflasi yang terjadi selama 4 bulan berturut-turut pada Mei-Agustus 2024 bisa menjadi sinyal akan terjadinya krisis ekonomi. Hal itu melihat apa yang terjadi pada tahun-tahan
sebelumnya. deflasi sempat terjadi pada 1999, 2008, dan 2020 ketika kondisi ekonomi Indonesia sedang bermasalah. Misalnya pada 1999 ekonomi Indonesia sedang dalam pemulihan setelah krisis ekonomi 1998, IHK mengalami deflasi selama 7 bulan berturut-turut pada Maret-September 2024. Kemudian pada 2008 ketika terjadi krisis moneter, IHK mengalami deflasi selama Desember 2008 sampai Januari 2009.
Lalu pada 2020 saat ekonomi Indonesia dan global terdampak pandemi Covid-19, terjadi deflasi selama Juli-September 2020.

“Artinya di sini pada tahun-tahun tersebut ketika terjadi deflasi berbulan-bulan secara berturutan itu ada krisis. Kita harus waspada bahwa sekarang ini 4 bulan berturutan itu ada deflasi. Artinya ini kondisi ekonomi ini sedang terkontraksi,” ujarnya dalam sebuah diskusi daring, dikutip dari Youtube LP3ES, Selasa (17/9/2024).

Mengutip Badan Pusat Statistik, Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Mei 2024 mengalami deflasi sebesar 0,03 persen, Juni deflasi 0,08 persen, Juli deflasi 0,18 persen, dan Agustus deflasi 0,03 persen.

Menurut dia, deflasi bisa terjadi karena Bank Indonesia (BI) mengurangi jumlah uang beredar di pasar dan menaikkan tingkat suku bunga acuan. Baca juga: Kejar Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Prabowo Dinilai Perlu “Batu Loncatan” Deflasi juga terjadi karena dari sisi permintaan mengalami penurunan akibat pendapatan masyarakat turun karena kenaikan upah tidak sebanding dengan kenaikan inflasi.

“Dan di sisi lain konsumsi juga turun ya. Jadi ini membuat ekonomi kita itu terkontraksi,” kata dia.

Oleh karenanya, dia meminta agar BI melakukan intervensi dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan yang sejak April 2024 berada di level 6,25 persen.

“Jadi intervensinya apa? Intervensinya adalah easy money policy. Jadi easy money policy ini sangat urgent. Jadi turunkan suku bunga, gunakan instrumen moneter yang lain misalnya Giro Wajib Minimum dan lain-lain,” ucapnya.

Kemudian BI juga bisa mendorong kredit perbankan. Pasalnya, selama ini perbankan tidak ada dorongan untuk menyalurkan kredit karena bisa menyalurkan asetnya ke Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk mendapatkan profit.

“Dorong kredit, selama ini kan tidak terjadi karena sektor perbankan ini lebih suka menaruh sebagian asetnya, portfolio-nya di SRBI sehingga perbankan tidak punya dorongan untuk menyalurkan (asetnya ke) kredit,” ungkapnya.

Selain itu, dia juga menekankan, intervensi kebijakan moneter seharusnya tidak hanya fokus pada stabilisasi nilai tukar, tetapi juga harus fokus pada stabilisasi harga. Kemudian, stabilitas harga tidak hanya terjadi di level nasional tetapi juga harus di level daerah.

“Harusnya Bank Sentral Ini kalau kita lihat data dari BI, punya akumulasi surplus sebesar Rp 312 triliun. Harusnya bisa untuk melakukan intervensi kebijakan moneter untuk stabilitas harga sampai ke level daerah. Dan akumulasi ini akan semakin besar ketika terjadi depresasi rupiah terhadap dollar AS,” jelasnya.

“Jadi seharusnya Bank Sentral, pemegang otoritas kebijakan moneter bisa melakukan intervensi kebijakan stabilitas harga agar Indonesia tidak terjadi deflasi terus-terusan sehingga bisa menghindarkan kita dari krisis ekonomi,” tambah Esther. (Sumber: Kompas.com)

You May Also Like

More From Author