Jakarta (wartaBHINEKA.com) – Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) harus terus membenahi sektor pertambangan dan energi guna mendorong pemanfaatan sumber daya energi dan tambang demi kesejahteraan rakyat seperti amanat dari konstitusi. Untuk itu Presiden Joko Widodo harus turun gunung dan menjadi Panglima di bidang energi dan tambang dalam sisa dua tahun masa kepemimpinannya, seperti yang selama ini sudah dilakukannya di sektor infrastruktur dalam tiga tahun masa kepemimpinannya.
“Pak jokowi harus jadi Panglima Energi seperti dia jadi Panglima Infastruktur. Seharusnya jangan diserahkan lagi urusan energi ini ke level di bawah Presiden. Kalau di bidang infrastruktur itu Pak Jokowi cek terus ke Pak Basuki (Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat),” kata Ketua Bidang Rembuk Pertambangan dan Energi Andang Bachtiar dalam puncak Rembuk Nasional 2017 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Senin (23/10).
Untuk itu Presiden harus bisa memastikan pembangunan sektor pertambangan dan energi melalui visi jangka panjang, sebab sektor tersebut mustahil dibangun dengan kebijakan-kebijakan yang bersifat jangka pendek.
“Jangan hanya melihat jangka pendek saja. Karena untuk ekplorasi migas saja itu butuh waktu paling cepat lima tahun lagi baru bisa dinikmati. Harus dikurangi kebijakan yang miopik, tapi harus bervisi 5 sampai 10 tahun ke depan,” terang Andang.
Seperti dalam bauran energi nasional, Pemerintah harus mengupayakan pengurangan penggunaan energi berbasis fosil dan beralih ke energi baru terbarukan (EBT) pada masa depan. Kondisi saat ini berdasarkan data tahun 2016, porsi EBT baru 7,7% , sementara energi berbasis fosil masih menguasai dengan porsi minyak bumi sebesar 33,8%, batubara sekitar 34,6%, dan gas bumi mencapai 23,9%.
Sementara berdasarkan target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada tahun 2025 porsi EBT harus digenjot sampai 23%, sedangkan energi fosil sebesar 77% (minyak bumi 25%, batubara 30%, gas bumi 22%). Bahkan untuk tahun 2050, porsi EBT harus sudah mencapai 31%, sementara energi berbasis fosil tinggal 69% (minyak bumi 20%, batubara 25%, gas bumi 24%).
“Masa depan kita akan tergantung pada energi terbarukan, oleh karena itu Undang-Undang Energi Terbarukan harus kita dorong sebagai payung hukum. Lalu, konsistensi dari peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah harus ada, dan itu untuk jangka panjang bukan untuk jangka pendek seperti sekarang ini,” tutur Suryadharma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).
Salah satu program yang terus digaungkan sejak Pemerintahan Jokowi-JK bekerja adalah terkait infrastruktur ketenagalistrikan lewat program 35.000 Megawatt (MW). Dikatakan oleh Ali Herman Ibrahim, Ketua Harian Pengusaha Listrik Swasta Indonesia (APLSI), bahwa dirinya mengapresiasi program kelistrikan nasional lewat program 35.000 MW yang menjadi manifestasi Nawa Cita dalam bidang kelistrikan.
.“Dokumentasi Rembuk Daerah itu akan dibuat tertulis dan semua orang bisa merujuk ke situ. Intinya bahwa masyarakat semua sudah menyatakan pendapatnya dan diserap aspirasinya dan akan menjadi panduan bagi Pemerintahan Jokowi-JK dalam dua tahun ke depan di bidang tambang dan energi,” tegas Andang Bachtiar.