Biological Warfare adalah isu yang relatif baru dalam dunia pertahanan negara. Pada tahun 90-an negara adidaya Amerika Serikat berlomba menjadi nuclear powerhouse dengan menunjukkan kekuatan persenjataan mereka dan kekuatan pasukan tempur. Namun dalam dunia saat ini hal tersebut tidak lagi menjadi simbol kekuatan pertahanan suatu negara yang ditandai dengan dimulainya era cybercrime seiring dengan perkembangan teknologi.
Berkembangnya teknologi juga diikuti oleh perkembangan di dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan beberapa negara yang lebih maju memamfaatkan teknologi untuk meneliti suatu virus atau agen biologi lainnya dengan tujuan pengembangan dunia kedokteran dan kemampuan negara masing-masing mencegah suatu penyakit misalnya lewat vaksinasi.
Namun hal tersebut ternyata memunculkan masalah baru, ternyata virus atau agen biologi tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai suatu senjata atau dikenal dengan nama biological warfare. Apapun sebutannya, negara seperti Indonesia tidak siap dalam menghadapi hal ini terutama apabila terjadi wabah biologis.
Selama ini negara kita sibuk dengan wabah berupa bencana yang sifatnya alam seperti gunung meletus, gempa, tsunami ataupun banjir. Indonesia punya segudang masalah sosial ekonomi yang tidak dipermudah dengan kondisi geografi yang unik serta sistem politik dan komunikasi serta birokrasi yang rumit. Oleh karena itu momentum ini dapat digunakan oleh negara untuk dapat mengantisipasi wabah yang bersifat biologi ke depannya.
Sejak awal 2000 wabah Covid-19 terjadi di negara-negara tetangga. Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah seharusnya bisa lebih siap dan tanggap dalam melihat situasi yang berkembang di dunia. Sehingga seharusnya langsung menyiapkan fasilitas pelayanan rujukan termasuk sarana prasarana dan sistem jejaring serta komunikasi antar fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit yang lebih baik.
Isu
Pada awal penetapan pandemi dikatakan ada lebih dari 100 rumah sakit rujukan (RS rujukan) namun rumah sakit belum tentu siap atau mungkin hanya sebagian di daerah berkembang yang mampu bertindak sebagai RS rujukan.
Dengan kata lain penetapan rumah sakit rumah tersebut sebagai RS rujukan terkesan secara sepihak ditunjuk oleh pemerintah karena status rumah sakit sebagai RSUD atau BLU daerah. Tidak semua sarana prasarana siap, tidak semua RS rujukan memiliki fasilitas ruang isolasi baik yang bertekanan negatif maupun ruang isolasi biasa dengan persyaratan seperti ventilasi dan penempatan ranjang yang sesuai standar, tidak ada persiapan Alat Pelindung Diri (APD) dalam kualitas dan kuantitas yang cukup, tidak ada persiapan alur keluar masuk pasien, tidak ada persiapan jejaring komunikasi dengan badan negara atau pemerintah daerah setempat, tidak ada persiapan SDM yang mampu dan sudah diberikan pelatihan penanganan pasien saat kondisi wabah.
Pada akhirnya semua pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan utama yang menyebabkan penumpukan pasien di rumah sakit rujukan. Semua pasien dari ringan, sedang, ataupun berat dan pasien dengan status ODP/PDP/kasus konfirmasi semua berkumpul di satu area.
Setelah beberapa waktu baru RS Darurat Wisma Atlit di Jakarta ditetapkan untuk menangani kasus ringan/sedang pasien ODP/PDP/konfirmasi pada 22 Maret 2020. Bicara dari sisi sarana prasarana pemerintah beruntung ada fasilitas wisma atlit yang punya kamar-kamar untuk segera dialihfungsikan sebagai kamar isolasi sehingga pasien ODP/PDP dan kasus konfirmasi bisa dipisah. Alat kesehatan kemudian dibeli berlomba dengan waktu untuk melayani pasien. Sarana prasarana hanya salah satu pendukung dalam perjuangan rumah sakit menghadapi wabah Covid-19 ini namun tetap menjadi isu penting untuk dipikirkan dan disediakan dengan perencanaan.
Indonesia perlu belajar dari wabah ini untuk mempersiapkan diri menghadapi ancaman global health ke depan. Belajar dari sejarah bukan mengulangi sejarah. “Tak ada akar rotan pun jadi”. Begitu peribahasa yang sering kita dengar, namun saat berhubungan dengan nyawa atau kepentingan masyarakat luas seperti kesehatan masyarakat maka peribahasa tersebut kurang tepat digunakan. Negara, lembaga dan fasilitas pelayanan kesehatan perlu menyiapkan “akar” yang kuat dari sisi sarana prasarana, SDM dan jejaring komunikasi.
Kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh Kemenkes, butuh waktu untuk bisa diterapkan langsung di lapangan. Berbagai masalah mulai muncul. Laju pertambahan penderita yang sangat cepat menyebabkan fasilitas kesehatan harus lebih sigap dalam identifikasi pasien sejak pertama datang, kebutuhan ruangan isolasi lebih banyak, SOP administratif yang tujuannya perlindungan terhadap tenaga Kesehatan dan pasien seperti persiapan transportasi dengan ambulans, peningkatan limbah cair dan padat yang perlu diatasi dengan baik hingga SOP pemulasaran jenazah.
Rekomendasi
Pandemi Covid-19 tidak akan selesai dalam hitungan bulan. Menurut pengamatan dan prediksi ahli, hal ini akan membawa tatanan baru terhadap dunia kesehatan dan juga terhadap kehidupan keseharian masyarakat.
Saat ini wabah Covid-19 sudah hampir 4 bulan berdampak terhadap kehidupan masyarakat dan new normal sudah dijalankan seperti layaknya kehidupan sehari-hari namun masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah dan bagi fasilitas pelayanan kesehatan seperti SOP yang harus terus dievaluasi, diperbaiki dan dipersempit ruang kesalahan dengan sosialisasi kebijakan kepada pelaksana dan sasaran kebijakan.
Perlu diadakan pelatihan dan evaluasi berkala untuk meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri tenaga medis dalam situasi pandemi. Aspek perlindungan tenaga kesehatan saat pelayanan juga jangan sampai dianggap hal sepele hanya karena stok APD saat ini tidak ada kekurangan jika dibandingkan dengan saat awal wabah. Kelalaian dan kelengahan saat bertugas melayani pasien dapat menyebabkan transmisi virus dengan cepat.
Rumah sakit sejak pandemi menutup beberapa layanan yang bersifat non emergensi seperti penyakit kronik dan penyakit atau tindakan elektif dalam rangka pencegahan penularan virus ini di lingkungan rumah sakit. Namun akibatnya berdampak terhadap pemasukan rumah sakit dan tidak mungkin situasi ini berlangsung terus menerus dari sisi keuangan rumah sakit.
Hampir semua rumah sakit terdampak baik langsung maupun tidak langsung oleh situasi pandemi saat ini mulai dari keuangan sampai operasional dan SDM. Ada 4 tipe respons terhadap situasi krisis saat ini yaitu retrenchment (mengelola pengeluaran selaras dengan pemasukan), persevering (bertahan dengan situasi yang ada), innovating (membuat terobosan baru untuk dapat bertahan) atau exit (menyerah dengan keadaan krisis). Tenda lapangan atau rumah sakit lapangan adalah bentuk inovasi dengan minim biaya namun rumah sakit perlu mempersiapkan fasilitas pendukung, sarana prasarana penunjang, SDM, sistem dan SOP baru.
Sejak Covid-19 di Indonesia sudah dibangun beberapa prototipe Rumah Sakit Lapangan (Rumkitlap) di Kabupaten Bantul dan Lembaga sosial Dompet Dhuafa pada awal April 2020 di Jakarta. Pada Juni 2020 Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendirikan Rumkitlap dalam rangka penanganan kasus Covid-19 yang meningkat di Jawa Timur.
Kekhawatiran sekarang adalah ketika status pandemi dicabut maka semua pasien akan datang ke rumah sakit dan bercampur akibat lonjakan pasien pasca pandemi. Pasien-pasien penyakit kronik yang memerlukan obat dan pemeriksaan berkala menyebabkan surge capacity rumah sakit melebihi kemampuan.
Oleh karena itu Rumah sakit lapangan dapat menjadi alternatif bagi penyedia jasa layanan kesehatan dan juga menjadi solusi bagi pemerintah daerah atau pemerintah pusat untuk terus melakukan pelayanan kepada pasien karena memiliki kelebihan yaitu dapat memisahkan antara kasus suspek atau konfirmasi dengan pasien lainnya yang tidak ada indikasi Covid-19 sebagai bentuk business continuity plan.
Di satu sisi pemasukan juga dapat bertambah dengan melayani pasien Covid-19 di fasilitas yang tidak bersifat permanen dan tidak memerlukan investasi besar. Kekurangan dari rumah sakit lapangan antara lain faktor keterbatasan area yang dimiliki fasilitas kesehatan. Kekurangan lainnya adalah perlu penguatan dan tim yang mengatur kebutuhan administrasi seperti SOP dan sistem yang terpisah dari fasilitas pelayanan utama dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan, perizinan dan legalitas serta kualifikasi SDM dan perlindungan terhadap tenaga Kesehatan.
Oleh dr. Graz Yudo Hadi Rimba