Naikkan Tarif Impor Gula daripada Pajaki Petani

JAKARTA – Sejumlah kalangan mengatakan pemerintah sebaiknya mengenakan tarif impor lebih tinggi untuk 3,5 juta gula impor, yang kini hanya kena tarif 3–5 persen atau 57 rupiah per kilogram (kg), daripada mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen pada 1,5 juta ton produksi petani tebu Indonesia.

Kebijakan itu dinilai lebih mencerminkan keadilan bagi rakyat serta menciptakan persaingan usaha yang lebih fair dan sehat. Meskipun dipahami saat ini pemerintah membutuhkan dana dari penerimaan pajak untuk menambal defisit APBN, perlakuan pajak tetap harus adil di antara pelaku usaha.

Pengamat ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang, Adi Susilo, mengemukakan pengenaan PPN kepada petani tebu rakyat merupakan bentuk ketidakadilan dan dapat mematikan produksi gula nasional. Ini menyebabkan negara makin bergantung pada impor.

“Pasokan gula kita terbagi dua, dari dalam dan luar negeri. Kalau selama ini gula impor diberi kemudahan biaya, sementara milik petani tebu sendiri semakin ditekan dengan pajak, dapat menimbulkan rasa ketidakadilan,” kata dia saat dihubungi, Selasa (11/7).

Menurut Adi, dengan kebijakan patok harga melalui penerapan harga eceran tertinggi (HET) gula, nasib petani sudah tertekan karena harga pembelian sudah di bawah biaya produksi petani. Dulu harga beli di level petani 11.000 rupiah/kg, sekarang menjadi 9.100 rupiah/kg. Jika dikenakan PPN 10 persen, harga jatuh menjadi 8.000-an rupiah/kg.

“Daripada menekan petani sendiri dengan PPN, seharusnya pemerintah menggali pajak dari impor gula. Pendapatan dari tarif impor bisa untuk membiayai kedaulatan pangan,” tukas dia.

Apalagi, ungkap dia, negara-negara maju pun malah mengenakan tarif impor gula yang tinggi untuk melindungi petaninya. Contohnya, Amerika Serikat (AS) mengenakan tarif impor 85 persen, Tiongkok 90 persen, Jepang bahkan 100 persen, dan Uni Eropa sebesar 30 persen.

Dia menilai perlakuan pajak yang tidak adil, seperti petani asing tidak kena PPN tebu (gula impor) di sisi lain petani Indonesia dikenakan PPN, serta pembiaran pelanggaran hukum akibat merembesnya gula impor untuk industri ke pasar konsumen, itu sama saja memusuhi petani bangsa sendiri.

“Ini juga jelas-jelas melanggar perundang-undangan Indonesia tentang asas keadilan sosial serta UU persaingan usaha yang sehat. Kenapa UU dilanggar secara blak-blakan? Masa petani dan rakyat sendiri diperlakukan secara melawan UU,” papar Adi.

Dia menambahkan kebijakan pemerintah itu juga melanggar asas pasar bebas. Lihat saja AS. Pendiri pasar bebas itu bersama Uni Eropa juga mengenakan tarif impor. “Bahkan, Eropa tak cuma mengenakan tarif impor 30 persen, tapi juga membatasi gula yang berasal dari luar Eropa dan persemakmuran Inggris.”

Apabila pemerintah bercita-cita mewujudkan kedaulatan pangan, menurut Adi, seharusnya justru lebih banyak menerapkan kebijakan yang pro-petani. “Kebijakan PPN untuk petani tebu tidak memenuhi asas keadilan, bagaimana bisa pro-petani.”

Petani Menolak

Sebelumnya dikabarkan, Kementerian Perdagangan meminta Kementerian Keuangan mempertimbangkan kembali penerapan PPN tebu petani. Petani tebu belum siap dikenai pajak karena mereka masih menanggung biaya produksi tinggi untuk menopang ketersediaan gula nasional.

“Saya akan upayakan bertemu dengan Menteri Keuangan untuk membicarakan agar petani dibebaskan dari pajak,” ujar Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, Senin (10/7).

Ketua Umum DPN Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen, menyampaikan APTRI tidak setuju dengan PPN 10 persen tersebut. “Kami menolaknya karena tidak sesuai dengan visi mensejahterakan nasib petani. Pemerintah diharapan segera membebaskan PPN pada tebu tani,” tegas dia.

Para pedagang dikhawatirkan enggan membeli tebu petani karena ketakutan bakal menanggung PPN. Dampaknya, tebu petani banyak yang belum laku, padahal saat ini adalah puncak musim giling.

“Apabila dalam waktu dua minggu belum ada keputusan pembebasan PPN maka petani akan melakukan unjuk rasa di Istana Negara dengan kekuatan 5.000 petani,” tegas Soemitro.

Sumber :

koran-jakarta.com

You May Also Like

More From Author