Jakarta – Mabes Polri diminta untuk segera melakukan penyelidikan terkait dugaan pemalsuan keterangan dalam akta otentik KTP dan Kartu Keluarga (KK) yang melibatkan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Keterangan palsu ini terkait dengan data kelurahan di lingkungan tempat tinggal Mia Amiati, yang belakangan viral di media sosial. Permintaan ini disampaikan pada Jumat, 5 November 2021, oleh Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman.
Yusri menekankan bahwa penyelidikan oleh Polri sangat dinanti oleh publik, mengingat posisi ST Burhanuddin sebagai Jaksa Agung yang merupakan figur penting dan representasi dari jajaran kejaksaan seluruh Indonesia. “Masyarakat berharap Jaksa Agung, sebagai pemimpin tertinggi di institusi penegak hukum, dapat memberikan keteladanan yang baik,” ungkap Yusri.
Menurut Yusri, polisi seharusnya sudah mengetahui bahwa pemalsuan atau penyertaan keterangan palsu dalam akta otentik, seperti yang diatur dalam Pasal 264 dan 266 KUHP, bukanlah delik aduan. “Artinya, meskipun tidak ada pihak yang melapor, Polri seharusnya tetap melakukan penyelidikan dan segera mengumumkan hasilnya jika tidak ditemukan unsur pidana, agar publik mendapatkan kejelasan terkait informasi yang beredar,” lanjut Yusri.
Pentingnya penyelidikan ini, menurut Yusri, juga berkaitan dengan citra lembaga kejaksaan sebagai salah satu institusi penegak hukum utama di Indonesia. Selain itu, proses tersebut akan mencegah fitnah yang dapat merusak nama baik Kejaksaan Agung, ST Burhanuddin sebagai Jaksa Agung, serta Mia Amiati sebagai Direktur PPS Jamintel Kejagung.
Dugaan ini bermula dari pemberitaan yang menyebutkan bahwa nama ST Burhanuddin tercantum dalam Kartu Keluarga (KK) Mia Amiati sebagai suami. Berdasarkan keterangan Ketua RT 010 Jalan Ayub, Pajaten Barat, Pasar Minggu, Agus, Mia Amiati telah lama tinggal di kawasan tersebut, bahkan sejak Agus belum menjabat sebagai Ketua RT. Warga sekitar juga mengenal Mia sebagai Jaksa Tinggi Riau sebelum menetap di kawasan tersebut.
Agus juga menyebutkan bahwa sebelum Burhanuddin menjadi Jaksa Agung, ia tidak mengetahui secara pasti pekerjaan Burhanuddin, karena yang tercantum dalam KTP Burhanuddin adalah status sebagai karyawan atau pengusaha.
Lebih lanjut, Agus mengungkapkan bahwa Mia Amiati sempat menolak pemutakhiran data kependudukan terkait nama ST Burhanuddin. Mia beralasan bahwa Nomor Induk Kependudukan (NIK) Burhanuddin, yang terdaftar di alamat Jalan Ayub Pejaten, belum berbentuk KTP elektronik.
Dari informasi yang berkembang, diketahui bahwa ST Burhanuddin memiliki alamat di Bandung, Jawa Barat, dan sudah memiliki KTP elektronik di sana. Menurut peraturan yang berlaku, penerbitan KTP seharusnya hanya dilakukan sekali untuk setiap individu, dan tidak boleh ada KTP ganda.
Keterangan serupa juga disampaikan oleh Marshuni, seorang pegawai di bagian Dukcapil Kelurahan Pejaten, Pasar Minggu, yang mengonfirmasi bahwa meskipun ada KTP ganda, KTP elektronik yang diterbitkan di Bandunglah yang berlaku.
Selain itu, Direktur Eksekutif Jaga Adhiyaksa, David, mengungkapkan dugaan bahwa ST Burhanuddin memanipulasi status pekerjaan di KTP-nya. Hal ini diduga terkait dengan upaya Burhanuddin untuk menikahi Mia Amiati. David mengingatkan bahwa peraturan mengenai poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sangat ketat, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 45 Tahun 1990. Dalam peraturan tersebut, PNS yang ingin berpoligami harus mendapat izin dari atasan, dan PNS wanita tidak diperkenankan untuk menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat.
Dengan terungkapnya berbagai fakta ini, Yusri Usman menilai penting bagi Polri untuk segera melakukan penyelidikan dan memberikan klarifikasi kepada publik terkait dugaan pemalsuan dalam akta otentik, serta apakah benar ada kaitannya dengan isu poligami yang melibatkan Burhanuddin dan Mia Amiati. “Jika benar informasi tersebut, selain melanggar aturan, hal ini juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antara Jaksa Agung dan Direktur PPS Kejagung yang mengawasi proyek-proyek strategis nasional dengan nilai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya,” ujar Yusri.
Sebelumnya, Yusri juga telah mengirimkan surat elektronik kepada Menko Polhukam Prof. Mahfud MD pada 23 Februari 2021 untuk meminta konfirmasi mengenai informasi tersebut. Namun, surat tersebut dibaca tanpa ada tanggapan.
Dugaan pemalsuan ini pertama kali diungkapkan oleh sejumlah media pada 26 Oktober 2021, dan kemudian kembali viral pada 29 Oktober 2021, memperbesar perhatian publik terhadap masalah ini.