WartaBHINEKA – Mantan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani melarikan diri ke luar negeri dalam detik-detik terakhir saat Kabul akan jatuh ke dalam kekuasaan Taliban. Tak hanya meninggalkan bangsanya dalam posisi genting, tindakan pengecut Ashraf Ghani itu semakin buruk karena dia membawa lari uang senilai 169 juta dolar AS.
Uang itu dimasukkan ke dalam koper-kopernya untuk diangkut memakai helikopter. Maka badan helikopter pun penuh berisi uang tunai. Bahkan, dalam laporan media Rusia melalui laporan seorang intelijennya di Kabul, saking banyaknya uang yang dicuri, beberapa koper milik Ghani terpaksa ditinggal begitu saja di landasan. Itu karena helikopter sudah tak bisa memuat uangnya lagi.
Setelah itu Ghani diindikasikan kabur ke Uzbekistan. Tapi, di sana pelariannya ditolak mentah-mentah oleh penguasa setempat. Lalu terbang ke Tajikistan dan di sana juga tak diterima. Setelah itu, dia kemudian melarikan diri ke Dubai. Dan oleh penguasa Dubai dia kemudian diberikan suaka dengan “alasan kemanusiaan”. Setelah itu baru kemudian kabur ke Amerika Serikat sampai kini.
Seperti dilansir dailymail.co.uk, Ghani melarikan diri dari negara itu pada Ahad malam ketika Taliban mengepung ibu kota. Alasan melarikan diri, dia mengatakan ingin menghindari pertumpahan darah. Sikapnya yang pengecut ini menjadi pertanda untuk mengakhiri kemenangan militer rezimnya yang membuat Taliban bisa dengan leluasa merebut Kabul dan semua kota penting lainnya di Afghanistan hanya dalam tempo 10 hari saja. Kisah ini mirip operasi bersandi “serangan kilat” bala tentara Hitler kala menduduki kota-kota Eropa dahulu.
Dilaporkan media itu, Ghani kabur memang dengan membawa serta empat mobil dan sebuah helikopter yang memuat 169 juta dolar dalam kantong uang tunai. Dailymail menyatakan, Ghani tampaknya terpaksa meninggalkan sebagian uangnya karena tidak semuanya muat dalam penerbangan.
Media Inggris itu juga melaporkan, Ghani awalnya melarikan diri ke Tajikistan, tetapi dialihkan ke Oman ketika para pejabat di Dushanbe menolak izinnya untuk mendarat. Sebelumnya dilaporkan, Ghani telah melarikan diri ke Uzbekistan.
Namun, Uni Emirat Arab mengatakan, hari ini bahwa mereka menjamu Presiden Afghanistan Ashraf Ghani di Dubai “atas dasar kemanusiaan”. “Kementerian Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional UEA dapat mengonfirmasi bahwa UEA telah menyambut Presiden Ashraf Ghani dan keluarganya ke negara itu dengan alasan kemanusiaan,” katanya dalam sebuah pernyataan singkat.
Rusia juga mengatakan, pada saat itu pihaknya masih akan mempertahankan kehadiran diplomatik di Kabul. Dan mereka berharap untuk mengembangkan hubungan dengan Taliban meski mereka juga mengatakan tidak akan terburu-buru mengakui Taliban sebagai penguasa negara itu. Rusia akan mengamati dengan cermat perilaku Taliban dan apa yang akan mereka lakukan.
“Adapun keruntuhan rezim itu paling fasih atau jelas kemudian ditandai dengan cara Ghani melarikan diri dari Afghanistan,” kata Nikita Ishchenko, juru bicara kedutaan Rusia di Kabul, seperti dikutip oleh RIA pada 16 Agustus.
Ishchenko juga mengatakan memang ada empat mobil penuh dengan uang dan Ghani mencoba memasukkan bagian lain dari uang itu ke dalam helikopter. Tetapi, tidak semuanya muat dan sebagian dari uang itu dibiarkan tergeletak di aspal landasan.
Ishchenko selaku juru bicara kedutaan Rusia membenarkan komentarnya itu kepada Reuters. Dia mengutip “saksi'” sebagai sumber informasinya. Reuters tidak dapat secara independen mengonfirmasi kebenaran pernyataannya dengan segera.
Berkilah untuk mencegah pertumpahan darah
Perwakilan khusus Presiden Vladimir Putin di Afghanistan, Zamir Kabulov, mengatakan, sebelumnya memang tidak jelas berapa banyak uang yang akan ditinggalkan oleh pemerintah yang melarikan diri itu.
“Saya berharap kepala pemerintah yang melarikan diri tidak mengambil semua uang dari APBN. Sebab uang ini seharusnya akan menjadi landasan atau modal anggaran jika ada yang tersisa,” kata Kabulov kepada stasiun radio Ekho Moskvy di Moskow.
Dalam sebuah unggahan Facebook, Ghani berkilah dengan mengatakan dia telah meninggalkan negara itu untuk menghindari bentrokan dengan Taliban yang akan membahayakan jutaan penduduk Kabul.
“Orang-orang sebangsa yang terhormat!” dia menulis. “Hari ini, saya menemukan pilihan yang sulit; saya harus berdiri menghadapi Taliban bersenjata yang ingin memasuki istana atau meninggalkan negara tercinta yang saya dedikasikan hidup saya untuk melindungi dan melindungi selama 20 tahun terakhir ini,” tulis Ghani.
“Jika masih ada banyak warga negara yang mati syahid dan mereka akan menghadapi kehancuran dan kehancuran kota Kabul, hasilnya akan menjadi bencana manusia yang besar di kota 6 juta ini.”
“Taliban telah berhasil menyingkirkan saya, mereka di sini untuk menyerang semua Kabul dan orang-orang Kabul. Untuk menghindari banjir berdarah, saya pikir yang terbaik adalah keluar,” katanya.
Namun, beberapa pengguna media sosial mencap Ghani tak satria. Ini terlebih karena dia tidak mau mengungkapkan lokasi keberadaannya. Maka julukan sebagai pengecut tercap di jidatnya. Dia disebut manusia tak berguna, meninggalkan bangsanya sendirian dalam kekacauan.
“Taliban telah menang dengan pedang dan senjata mereka, dan sekarang bertanggung jawab atas kehormatan, harta benda, dan pertahanan diri warga negara itu mereka,” kata Ghani lagi setelah melarikan diri.
Tetapi, apa pun yang dikatakan Ghani, karena lari ketika situasi negara sangat genting dan dia melarikan diri dengan menggondol begitu banyak uang, maka membuat berbagai tokoh di Aghanistan meradang, bahkan mengutuknya habis-habisan.
Menteri pertahanan Afghanistan semasa pemerintahannya mengutukinya dengan kata penuh penyesalan. Dia menyebut sang mantan presiden itu hanya sebatas “seorang kaya yang sialan”. Sementara, seorang tokoh rekonsiliasi Afghanistan menyatakan Ghani harus mempertanggungjawabkan perilakunya di depan Tuhan. Dia pun menyebut Ghani ternyata bukan orang terhormat seperti selama ini dikesankan.
Dan kenyataannya, sampai hari ini atau beberapa hari setelah Kabul jatuh ke tentara Taliban, kejadian kerusuhan masif ternyata tak muncul. Kepanikan dan aksi kekerasan ternyata hanya minim terjadi. Taliban ternyata bisa mengendalikan suasana.
Kerusuhan memang terjadi di Bandara Kabul ketika ribuan orang yang terindikasi selama ini sebagai penikmat dan pendukung Ghani –misalnya keluarga para penerjemah tentara AS selama di Afghanistan– ketakutan akan adanya balas dendam dari Taliban. Mereka nekat menyesaki dan memaksa masuk pesawat yang akan terbang ke luar dari Kabul.
Akibat suasana rusuh itu, malah ada tujuh orang warga Afghanistan yang ditembak mati tentara AS karena terus memaksa naik pesawat dengan memadati landas pacu bandara. Bandara kala itu memang masih dijaga 5.000 tentara AS yang tengah mengamankan evakuasi diplomatnya meninggalkan Afghanistan.
Kisah Tak Berubah: Saigon 1975, Teheran 1979, Kabul 2021
Situasi itu persis seperti apa yang terjadi di ibu kota Vietnam Selatan, Saigon, kala kota itu jatuh ke tangan tentara Vietnam Utara yang dipimpin jenderal legendaris Ho Chi Minh. Saat itu orang-orang panik memaksa naik pesawat ke luar dari kota itu.
Sementara, sebagian warga Saigon lain memaksakan diri ke luar dari Saigon atau Vietnam Selatan dengan naik perahu menuju ke berbagai perairan yang berada di kawasan Asia Tenggara, seperti Batam di Indonesia. Saat itu mereka dikenal sebagai “manusia perahu”. Mereka beberapa lama mendiami Pulau Galang.
Dan kepanikan Saigon juga buah dari provokasi media massa barat dan Amerika. Kala itu, mereka ramai berteriak dan menulis berita bahwa kalau Saigon jatuh ke tangan Viet Cong penduduknya akan dibantai dan kota dibumihanguskan.”Tentara Komunis akan memancung kepala Anda. Maka pertahankanlah Saigon!” tulis media barat besar-besar. Meski buktinya kemudian itu hanya isapan jempol. Viet Cong ketika menguasai Saigon ternyata tak melakukan pembantaian.
Dan hal yang sama kini juga terjadi kala Kabul jatuh ke dalam kekuasaan Taliban. Media massa barat cenderung atau punya tendensi seperti itu, yakni persis kala Saigon akan jatuh ke tangan Viet Cong, mereka pun kini menyebar ketakutan kepada warga Kabul. Berita tentang ancaman Taliban kepada kaum perempuan mereka gelontorkan habis-habisan.
Untungnya dalam jumpa pers yang berlangsung pada Selasa malam (17/8), pemimpin Thaliban berbicara dan menegaskan bahwa mereka tak akan melakukan balas dendam. Mereka juga akan memberi kesempatan kepada perempuan untuk sekolah atau beraktivitas di depan umum, dengan syarat para perempuan itu harus menyadari bahwa zaman sudah berubah dan mereka harus pula mengikuti aturan syariah Islam.
Dan sikap itu tecermin dari sikap seorang dokter yang selama ini bekerja di rumah sakit Kabul. Ketika kota ini jatuh ke Taliban, anaknya meminta agar dia ikut pergi bersamanya kabur ke Kanada. Menurut dia, situasi Afghanistan tak kondusif lagi.
Tapi, apa jawab sang ayah yang dokter itu.”Silakan kamu saja yang pergi, Nak. Saya akan di sini. Afghanistan adalah negara saya. Tak apa saya mati di sini.”
Setelah berkata seperti itu, dia kemudian pergi ke rumah sakit. Di jalanan dia bertemu dengan lalu lalang tentara Taliban. Di dekat rumah sakit Kabul dia masuk dalam pos pemeriksaan. Dia ditanya oleh tentara Taliban itu.
“Bapak seorang apa dan mau ke mana?”
”Saya dokter dan akan masuk ke rumah sakit kabul untuk bekerja.”
“Okey silakan jalan, Pak. Tapi mohon nanti akan ada aturan lebih lanjut soal tata cara perawatan rumah sakit sesuai ajaran Islam, ya. Aturan itu tengah dibuat.”
”Oh, ya. Bagaimana aturannya kira-kira,” tanya dokter itu kepada tentara Taliban yang memeriksanya.
”Ya, nanti pasien pria dan wanita akan dipisahkan ruang perawatannya. Dokter pria bila akan memeriksa pasien wanita harus disampingi perawat wanita. Begitu kira-kira. Perinciannya nanti,” kata Taliban.
Dokter pun kemudian berlalu masuk kerja. Tak ada interogasi rumit, bahkan balas dendam. Ini setidaknya sampai hari ini saat tulisan ini dibuat.
Jadi, ke depan, kita tunggu apa yang terjadi nanti. Bukankah selain Saigon dan Kabul, Teheran pun pernah punya situasi seperti ini? Saat itu, Imam Khomeini pulang dari Prancis dan Syah Iran yang jadi boneka AS kemudian terusir dari Iran. Wajah Iran yang dikuasai Khoemeini juga coreng-moreng habis-habisan di pers barat.
Iran kala itu segera dituduh sebagai negara pengekspor teror. Iran pun galak membalasnya. Imam Khomeini membalas dengan menyebut AS sebagai “setan besar”. Buktinya, sampai sekarang Iran tetap eksis meski di embargo Amerika dan sekutu baratnya.
Zaman memang berganti, tapi ceritanya ternyata belum berubah. Sami mawon alias sama saja!